Kau Bukan Ibuku

by - 7:22 pm



Jam segini orang-orang sudah berada didalam rumah
Pamali katanya jika masih berkeliaran diluar
Tapi aku tak peduli
Buktinya
Disini lah aku
Duduk di pinggiran sawah sambil menatap langit senja
Mendengarkan lantunan adzan magrib berkumandang

“Aruuuummmmm”
Namaku Arum Adiratna, itu si Mbah yang berteriak menyuruhku pulang
Diperjalanan pulang si Mbah menggenggam kuat lenganku
Takut aku diculik katanya
“Mbah, jalanan sepi begini, mana mungkin ada penculik”
Si Mbah tak menjawab, hanya menatapku sambil melotot
Tak perlu dijawab pun aku sudah tahu
Pasti itu lagi
Takhayul

Sesampainya dirumah si Mbah menyuruhku mandi
Padahal sebelum ke sawah aku sudah mandi
“Arum sudah mandi, Mbah”
Tapi tetap saja
Aku disuruh mandi
Takut ada yang mengikuti katanya

Selesai mandi aku disuruh sholat
Lalu makan bersama si Mbah
Aku hanya tinggal berdua dengan si Mbah
Walaupun aku memanggilnya ‘Mbah’
Umurnya tak setua panggilannya
Si Mbah masih 70 tahun

Kami hidup hanya mengandalkan kiriman dari anak-anak si Mbah
Tapi tak masalah, kami masih berkecukupan
Bahkan si Mbah mampu menyekolahkanku
Tak heran
Anak-anak si Mbah orang berpendidikan
Mempunyai pekerjaan yang mapan dikota
Kecuali ibuku, mungkin
Entahlah, aku tak tahu siapa ibuku

Suatu malam si Mbah sedang memasak
Lalu aku bertanya
“Mbah, ibu kemana sih?”
Jawabannya selalu sama setiap kali aku bertanya
“Kamu itu tugasnya belajar saja, biar tidak jadi seperti ibumu itu lo”
Dan jawabanku juga selalu sama
Aku selalu bungkam
Aku takut untuk bertanya lagi
Memangnya ibuku kenapa sih?
Kenapa si Mbah tidak suka bila aku menjadi seperti ibuku?

Selama hidupku aku selalu memikirkannya
Dimana ibuku?
Pergi kemana dia?
Mengapa lama sekali?
Bagaimana wajahnya yang sekarang?
Apa mirip denganku?
Aku hanya bisa melihat foto-foto kecilnya di album foto si Mbah
Itupun sedikit sekali
Terlihat seperti si Mbah tak ingin mengoleksi foto-foto ibuku
Berbeda dengan paman dan bibiku
Foto mereka lengkap
Dari bayi sampai foto yang terakhir saat mereka wisuda
Ibuku?
Hanya ada 3 foto
2 saat ibuku masih kecil mungkin sekitar 5 atau 6 tahun
Dan 1 foto terakhir, tergambar difoto itu ibuku sedang memegang piala dengan mengenakan seragam merah putih

“Mbah kenapa foto Ibu sedikit sekali?”
“Ibumu tak suka difoto”, begitu jawabnya

Seiring berjalannya waktu
Aku terus tumbuh
Terbiasa hidup tanpa seorang Ibu atau Ayah
Si Mbah yang mengajariku, mendidikku seperti anaknya sendiri
Walaupun pertanyaan itu selalu ada
Pertanyaan-pertanyaan yang dari dulu aku ingin tahu jawabannya
Pertanyaan-pertanyaan tentang ibuku

Kini aku tahu
Aku tahu semuanya
Tentang ibuku, aku tahu
“Sekarang aku sudah tahu Mbah”, kataku sambil mengusap nisan didepanku
Kata bude Lastri; anak sulung si Mbah, ibuku bekerja di pasar kembang
Jika kau di Jogja, kau akan tahu
Ibuku bekerja di pasar kembang
Tapi bukan sebagai penjual kembang atau penjaga toko kembang

Kuusap pipiku untuk kesekian kalinya
Angin sore membuat pipi basahku terasa dingin

“Begitu banyak rahasia yang kau tutupi, Mbah. Kau tak ingin aku tahu.
Kau takut aku akan bersedih jika aku tahu kenyataannya.
Aku tahu, kau juga bersedih. Bagaimana pun juga dia putrimu, kan?
Kau wanita terhebat yang pernah kukenal.
Kau berhasil, Mbah. Kau berhasil menutupi luka itu bertahun-tahun.
Kau berhasil mengubur kisah itu amat dalam sehingga pada waktunya ia terbongkar, ia terbongkar diwaktu yang tepat.
Untuk apa aku memikirkan ibuku, Kau lah ibuku yang sesungguhnya, Mbah.
Kau yang mendidikku, kau yang memarahiku bila aku salah, kau yang berteriak menyuruhku pulang saat aku masih asyik melihat langit senja di pinggir sawah.
Kau yang memasak makanan untukku, semua hal yang seharusnya ibuku lah yg mengerjakan, malah kau yang mengerjakannya.
Di hari tua mu yang seharusnya kau habiskan tanpa beban, aku malah menjadi beban bagimu.
Maafkan aku, disisa hidupmu aku selalu menyusahkanmu.
Lihat aku, Mbah. Aku baru wisuda kemarin.
Tak ada yang bisa aku ajak berfoto, Mbah.
Aku sendiri.
Tak ada yang hadir kemarin.
Hari ini, Bude Lastri mengirim pesan, mengucapkan selamat atas kelulusanku.
Dia mengajakku bekerja di kantornya, yang kebetulan sedang membutuhkan lulusan manajemen.
Aku mau pamit, Mbah. Aku akan ke Jakarta besok lusa.
Bude Lastri bersedia jika aku tinggal bersamanya.
Ucapan terima kasih karena telah menjagamu disini, katanya.
Padahal kau lah yang menjagaku, kan?
Terima kasih Mbah atas semuanya.
Aku bisa melihat masa depan berkatmu.
Semoga kau tenang disana, Mbah.
Doaku selalu menyertaimu.
Mbah, aku pamit. Terima kasih banyak.
Aku mencintaimu. Assalamualaikum”

Aku bangkit menjauhi pemakaman
Berjalan menuju rumah
Besok lusa aku harus pergi
Rumah si Mbah akan kubiarkan kosong
Menjadi kenangan masa kecilku bersama si Mbah

Perihal ibuku
Entahlah, aku tak peduli lagi
Rasanya baru kemarin aku merindukan sosok seorang ibu
Hari ini juga aku merasa tak peduli dengannya
Benar-benar tak peduli

Aku kecewa
Aku kecewa dengan ibuku
Aku benci ibuku
Dia bukan ibuku






kmlenia, 8 Desember 2017

You May Also Like

0 komentar